bismillah

Monday, January 31, 2011

~ukhwah Ali bin Abi Thalib~

Kisah ini merupakan kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib dalam Khulafaurrasyidin yang sangat patut kita contohi dan teladani.

Tidak ada khalifah yang paling mencintai ukhuwah, ketika orang berusaha menghancurkannya, seperti Ali bin Abi Thalib. Baru saja dia memegang tampuk pemerintahannya, beberapa orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua orang di antara Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata mereka kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut hukum Islam pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia mengirim beberapa orang utusan menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat dikirimkan. Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan pemberontak semakin membengkak. Mereka bergerak menuju Basra.

Dengan hati yang berat, Ali menghimpun pasukan. Ketika dia sampai di perbatasan Basra, di satu tempat yang bernama Alzawiyah, dia turun dari kuda. Dia melakukan solat empat rakaat. Selesai solat, dia merebahkan pipinya ke atas tanah dan air matanya mengalir membashi tanah di bawahnya. Kemudian dia mengangkat tangan dan berdoa: "Ya Allah, yang memelihara langit dan apa-apa yang dinaunginya, yang memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya. Wahai Tuhan pemilik 'arasy nan agung. Inilah Basra. Aku mohon kepada-Mu kebaikan kota ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya. Ya Allah, masukkanlah aku ke tempat masuk yang baik, kerana Engkaulah sebaik-baiknya yang menempatkan orang. Ya Allah, mereka telah membangkang aku, menentang aku dan memutuskan bay'ah-ku. Ya Allah, peliharalah darah kaum Muslim."

Ketika kedua pasukan sudah mendekat, untuk terakhir kalinya Ali mengirim Abdullah Ibn Abbas menemui pemimpin pasukan pembangkang, mengajak bersatu kembali dan tidak menumpahkan darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali berbicara di hadapan sahabat-sahabatnya, sambil mangangkat al-Qur'an di tangan kanannya: "Siapa di antara kalian yang mahu membawa mushaf ini ke tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian atas nama al-Qur'an ini dengan tangan yang lain; jika tangan itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya sampai dia terbunuh."

Seorang pemuda Khufah bangkit menawarkan dirinya. Kerana melihat usianya terlalu muda, mula-mula Ali tidak menghiraukannya. Lalu dia menawarkannya kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Namun, tidak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali menyerahkan al-Qur'an berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian."

Tanpa rasa gentar dan penuh dengan keberanian, pemuda itu berdiri di depan pasukan Aisyah. Dia mengangkat al-Qur'an dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk memlihara ukhwah. Teriakannya tidak didengar. Dia disambut dengan tebasan pedang. Tangan kanannya terputus. Dia mengambil mushaf dengan tangan kirinya, sambil tidak henti-hentinya menyerukan pesan perdamaian. Untuk kedua kalinya tangannya ditebas. Dia mengambil al-Qur'an dengan gigi-giginya, sementara tubuhnya sudah bersimbah darah. Sorot matanya masih menyerukan perdamaian dan mengajak mereka untuk memelihara darah kaum Muslim. Akhirnya orang pun menebas lehernya.

Pejuang perdamaian ini rubuh. Orang-orang membawanya ke hadapan Ali Ibn Abi Thalib. Ali mengucapkan doa untuknya, sementara air matanya deras membasahi wajahnya. "Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada kalian, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan merosak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka sedikit pun. Jangan menyakiti permpuan walaupun mereka mencemuhkan kamu. Jangan mengecam pemimpin mereka dan orang-orang soleh di antara mereka."

Sejarah kemudian mencatat kemenangan di pihak Ali. Seperti yang dipesankannya, pasukan Ali berusaha menyembuhkan luka ukhwah yang sudah retak. Ali sendiri memberikan ampunan massal. Sejarah juga mencatat bahwa tidak lama setelah kemenangan ini, pembangkang-pembangkang yang lain muncul. Mu'awiyah mengarahkan pasukan untuk memerangi Ali. Ketika mereka terdesak dan kekalahan sudah di ambang pintu, mereka mengangkat al-Qur'an, memohon perdamaian. Ali, yang sangat mencintai ukhwah, menghentikan peperangan. Seperti kita ketahui bersama, Ali dikhianati. Kerana kecewa, segolongan dari pengikut Ali memisahkan diri. Golongan ini, kelak terkenal sebagai Khawarij, beruabh menjadi penentang Ali. Seperti biasa, Ali mengirimkan utusan untuk mengajak mereka berdamai. Seperti biasa pula, upaya tersebut gagal.

Dari: Islam Aktual. Jalaluddin Rakhmat. Mizan, Jakarta 1991

No comments:

Post a Comment